Bantul, Suara-Muslim.Com
Maraknya berbagai aliran Islam di Indonesia, seperti Wahabi, HTI, MTA, dan Syi’ah, semakin menuntut para generasi Nahdhiyin untuk lebih menguatkan lagi pemahaman akan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang dianutnya.
Setidaknya, demikian yang diungkapkan Pengasuh Pesantren Assalafiyah Mlangi, Irwan Masduqi dalam mengawali dialog yang mengangkat tema “Peta aliran-aliran Islam di Indonesia”, Kamis (6/6) kemarin.
Dialog tersebut dilaksanakan serangkaian dengan acara Majma’un Nahdliyin dan peringatan Isra’ Mi’raj oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) UGM, di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta.
Sebagai pemantik awal, Irwan menjelaskan tentang pengertian Aswaja itu sendiri, berikut sejarah singkat munculnya Aswaja. Dikatakan bahwa Aswaja adalah kelompok yang konsisten memegang ajaran Nabi Muhammad SAW. Pada masa Nabi, istilah Aswaja memang belum ada. Umat Islam yang telah terpecah belah karena politik dan telah ada sejak zaman nabi, membuat Aswaja hadir sebagai penetralisir konflik.
Aswaja yang dikenal dengan akidahnya yang terbuka dan moderat, lanjut Irwan, berakar pada aliran asy’ariyah dan maturidiyyah. Jadi, disamping berpedoman pada nash, Aswaja hadir tanpa mengesampingkan akal dan rasionalitas. Karena akal memiliki peran dalam menentukan ijtihad, atau menentukan baik buruknya suatu hal.
“Aswaja hadir dengan menggunakan keseimbangan antara rasionalitas dan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits,” ungkapnya.
Menurut Irwan, NU yang berideologikan Aswaja dengan ciri khasnya ta’adul, tawazun, tawasuth, dan tasamuh hadir dengan mengedepankan jalan perdamaian secara dialogis, bukan secara fisik. Juga tidak dengan mudah mengkafirkan orang.
“Itulah kenapa NU bisa menjadi basis politik yang begitu kuat di NKRI. Ya karena kemoderatannya itu,” tegasnya.
Mengenai konsep berpolitik NU yang menggunakan kitab kuning sebagai landasannya, dikatakan Irwan bahwa kitab kuning merupakan hasil ijtihad para ulama. Sedangkan prinsip-prinsipnya secara umum, telah termuat di dalam Al-Qur’an.
Jadi mekanisme yang digunakan apa dan bagaimana, tidak ada aturan, yang terpenting adalah tercapainya kemaslahatan. Nah, kemudian kenapa yang digunakan adalah demokrasi, bukan syari’at Islam? Jawabnya adalah, karena demokrasi itu dekat dengan musyawarah.
“Hal itu seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika hijrah ke Madinah. Nabi tidak langsung mewajibkan syari’at Islam kepada masyarakat Madinah, tapi membentuk masyarakat kecil dulu. Nabi juga masih mempersilahkan Yahudi menggunakan kitabnya terdahulu,” papar Irwan.
Lantas, Irwan pun memaparkan sedikit tentang Syi’ah. Dikatakan oleh Irwan, bahwa sebenarnya banyak ajaran-ajaran NU yang secara tidak sadar berasal dari Syi’ah. Seperti Barzanji, shalawat Habib Syech, yang membuat adalah orang Syi’ah. Dalam hal ibadah memang tidak ada perbedaan. Yang berbeda adalah dalam konsep berpolitik dan pandangan terhadap nikah mut’ah.
“Jadi, NU kita itu masih sedikit mirip Syi’ah. Syi’ah zaman dahulu memang sedikit berbeda dengan Syi’ah sekarang. Syi’ah dulu banyak mencaci maki sahabat. Sekarang tidak lagi,” kata Irwan.
Di akhir sesi, Irwan mengatakan bahwa dalam menghadapi polemik aliran-aliran yang muncul, yang lebih diperlukan adalah penguatan argumentasi, bukan penguatan fisik. Jadi walaupun misalnya sudah jelas terbukti bahwa aliran tersebut sesat, tidak benar jika beradu fisik, melainkan diselesaikan secara argumentatif. Seperti yang telah dilakukan Nabi ketika menghadapi nabi palsu, yakni Musailamah Al-Kadzab.
“Nabi Muhammad dahulu ketika menghadapi nabi palsu, tidak menggunakan kekerasan. Melainkan dengan ancaman ukhrawi. Nah, ketika Musailamah sudah bersikap separatisme, barulah diperangi,” tandas Irwan di akhir diskusi.
Redaktur : Abu Muhammad
Sumber : NU Online
Tidak ada komentar: